Sejarah Papeda Makanan Khas Papua yang Menggambarkan Warisan Budaya dan Alam
Papeda telah menjadi makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua sejak zaman dahulu, ketika sagu merupakan hasil bumi utama yang melimpah di daerah tersebut. Pohon sagu tumbuh subur di kawasan pesisir dan rawa-rawa, menjadikannya sumber pangan utama bagi penduduk lokal. Proses pengolahan sagu menjadi tepung dilakukan secara tradisional, dimulai dengan menebang pohon sagu, memeras pati dari batangnya, dan mengeringkannya hingga siap diolah.
Dalam kehidupan masyarakat Maluku dan Papua, sagu bukan hanya sumber makanan, tetapi juga bagian penting dari budaya dan tradisi. Di banyak upacara adat, papeda sering dihidangkan sebagai simbol kebersamaan. Papeda biasanya disantap bersama lauk-pauk seperti ikan kuah kuning, ikan bakar, atau sambal colo-colo, menciptakan harmoni rasa yang kaya dan menggugah selera.
Meskipun papeda sama-sama terbuat dari sagu, terdapat perbedaan dalam cara penyajian dan pendamping yang digunakan di Maluku dan Papua.
Di Maluku, papeda umumnya disajikan dengan ikan kuah kuning, yang dibuat dari ikan tongkol atau mubara dengan bumbu rempah seperti kunyit, jahe, serai, dan daun jeruk. Kuah kuning ini memiliki rasa yang gurih dan sedikit pedas, menciptakan perpaduan sempurna dengan tekstur papeda yang lembut. Selain itu, sambal colo-colo—sambal khas Maluku yang terbuat dari irisan cabai, bawang merah, tomat, dan perasan jeruk nipis—sering menjadi pelengkap untuk menambah cita rasa segar.
Sementara itu, di Papua, papeda sering kali disajikan dengan ikan bakar atau ikan asar, yakni ikan yang diasap hingga matang. Lauk pendamping ini memberikan rasa smokey yang khas, berbeda dengan kuah kuning yang lebih umum di Maluku. Selain itu, di Papua, papeda juga kerap dinikmati dengan sayur-sayuran seperti daun singkong atau pakis yang dimasak sederhana.
Perbedaan lainnya terletak pada tradisi makan bersama. Di Maluku, papeda sering dihidangkan dalam porsi besar untuk dimakan bersama-sama dengan cara tradisional, yaitu menggunakan sumpit kayu untuk melilit papeda ke piring masing-masing. Sedangkan di Papua, penyajian papeda lebih sering dilakukan secara individu, dengan porsi yang disesuaikan untuk setiap orang.
Baik di Maluku maupun Papua, papeda bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol identitas dan kearifan lokal. Di tengah modernisasi dan masuknya berbagai makanan instan, papeda tetap bertahan sebagai bagian penting dari tradisi kuliner timur Indonesia. Keberadaannya mengajarkan tentang pentingnya memanfaatkan sumber daya alam lokal dan menjaga keberlanjutan pangan tradisional.
Papeda, dengan segala kesederhanaan dan keunikannya, membuktikan bahwa makanan tradisional memiliki daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Baik Anda mencicipinya di Maluku dengan kuah kuning atau di Papua dengan ikan asar, papeda akan selalu mengingatkan Anda pada kekayaan budaya Indonesia yang begitu beragam.